Bismillah.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, risalah Tsalatsatul Ushul yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah risalah yang sangat berharga.
Pada bagian awal risalah ini, beliau menjelaskan kepada kita tentang empat kewajiban yang paling mendasar yang harus dipahami oleh setiap insan, yaitu; ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Dasarnya adalah firman Allah di dalam surat al-’Ashr ayat 1 sampai 3.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.”
Di dalam surat ini, Allah menyebutkan bahwa semua orang berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat sifat; iman, amal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Keempat sifat inilah kunci kebahagiaan dan jalan menuju keberuntungan.
Sifat Pertama : Iman
Di dalam akidah islam, iman merupakan perkara yang sangat mendasar dan harus selalu diperhatikan. Sebab iman merupakan syarat untuk bisa masuk ke dalam surga. Tidak ada yang bisa masuk surga selain kaum beriman. Adapun orang-orang kafir maka tempat tinggal mereka kelak adalah di neraka. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Iman yang benar dalam timbangan agama ialah yang memadukan tiga unsur pokok, yaitu keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Tidaklah seorang dikatakan beriman dengan benar kecuali pada dirinya pasti terdapat ketiga perkara ini. Dengan demikian, kita mengetahui bahwasanya amal merupakan bagian dari iman, atau bisa kita katakan bahwa amal adalah syarat sah iman, bukan semata-mata syarat kesempurnaan iman sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang.
Meskipun demikian patut untuk dipahami bahwa iman itu memiliki pokok dan juga memiliki cabang-cabang. Apabila seorang kehilangan pokok keimanan maka hilanglah iman itu dari dalam dirinya secara total. Adapun apabila yang hilang adalah cabang keimanan maka imannya ada namun cacat atau tidak sempurna. Oleh sebab itulah Allah memberikan perumpamaan kalimat iman dengan sebatang pohon yang bagus.
Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, bagian yang paling tinggi/paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, bahkan rasa malu pun termasuk cabang keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa iman itu tersusun dari berbagai bagian, iman bukanlah sesuatu yang tunggal dan tak terbagi. Iman itu bertingkat-tingkat.
Iman akan bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang atau menyusut karena sebab kemaksiatan. Dengan demikian, untuk menjaga keimanan atau memiliki keimanan yang benar tidak bisa tidak harus membekali diri dengan ilmu agama; yaitu ilmu yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar. Tidak akan baik iman seorang hamba kecuali apabila dia mendasarinya dengan ilmu.
Oleh sebab itulah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam risalah ini juga mengutip perkataan Imam Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya, yaitu Bab Ilmu Sebelum Ucapan dan Perbuatan. Sebab iman itu meliputi ucapan dan perbuatan. Tidak akan benar ucapan dan perbuatan jika tidak dilandasi dengan ilmu yang benar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan kepadanya urusan agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu). Hal ini menunjukkan bahwa tanda kebaikan seorang hamba adalah tatkala dia memahami ilmu agamanya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada makan dan minum. Karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalamsehari, sedangkan ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Karena itulah sangat wajar apabila Allah memerintahkan kita -melalui lisan Rasul-Nya- untuk memohon kepada Allah hidayah setiap kali sholat, bahkan di dalam setiap raka’at. Sebagaimana dalam ayat yang selalu kita baca, ‘Ihdinash shirathal mustaqim’; “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.” (Al-Fatihah)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk membaca doa setiap sesudah sholat Subuh dengan membaca ‘Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqan thayyiban, wa ‘amalan mutaqabbalan’; artinya “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ilmu yang paling utama dan paling wajib untuk kita pelajari ialah ilmu tauhid; sebab tauhid inilah tujuan penciptaan kita di alam dunia ini.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56). Para ulama kita menafsirkan bahwa makna beribadah di dalam ayat ini adalah bertauhid. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah yang benar kecuali apabila disertai dengan tauhid, demikian sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya al-Qawa’id al-Arba’.
Oleh sebab itulah, ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid). Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa tauhid adalah ilmu paling penting yang harus dipahami dan diajarkan.
Bahkan, seluruh para rasul diutus oleh Allah untuk membawa misi dakwah tauhid kepada umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36). Ayat ini menunjukkan sebagaimana dijelaskan oleh para ulama -diantaranya oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr dalam kitabnya Ma’alim at-Tauhid- bahwasanya tauhid merupakan tema sentral dan misi utama dakwah segenap rasul.
Oleh karena itulah wajib bagi setiap da’i Islam untuk memberikan perhatian besar dalam masalah tauhid ini dan menjadikannya sebagai prioritas utama dan paling pokok di dalam dakwahnya di tengah umat. Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dan para ulama yang lain dengan kalimat yang sangat populer, ‘Tauhid Awwalan, Yaa Du’aatal Islam’; artinya, “Jadikanlah tauhid sebagai prioritas yang paling utama dan paling pertama wahai para da’i Islam.” Inilah nasihat para ulama kepada kita.
Kita pun telah mengetahui di dalam lembaran sejarah Islam, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah tauhid selama 13 tahun di Mekah, dan itu pun tidak berhenti setelah beliau berhijrah ke Madinah. Bahkan, di akhir-akhir masa hidup beliau pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabatnya dari bentuk-bentuk perbuatan yang menjerumuskan umat ke jurang kemusyrikan.
Tidak akan menjadi baik keadaan umat ini kecuali dengan tauhid. Karena tauhid inilah sumber keamanan dan petunjuk. Tauhid inilah sebab persatuan dan persaudaraan yang hakiki. Tauhid inilah yang menjadi sebab turunnya keberkahan dari langit dan bumi. Tauhid inilah yang telah merubah sosok-sosok manusia yang bengis dan tidak mengenal kasih sayang menjadi tokoh-tokoh yang tawadhu’ dan penuh kelembutan.
Inilah rahasia kejayaan generasi awal Islam di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah perbaiki hati mereka dengan tauhid, maka Allah pun karuniakan kepada negeri mereka dengan keamanan dan kemakmuran.
Imam Malik rahimahullah berpesan, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu bahkan mengatakan, “Kami adalah suatu kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Kapan saja kami mencari kemuliaan dari selainnya niscaya kami pasti menjadi hina atau dihinakan oleh Allah.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Oleh sebab itu sangatlah wajar apabila para ulama pendahulu kita di negeri ini sangat gencar dalam mendakwahkan tauhid dan memerangi TBC/Takhayul, Bid’ah dan Churafat. Sebab inilah intisari dakwah para nabi dan rasul ‘alaihimus salam. Inilah pokok dari ajaran semua kitab suci yang diturunkan Allah. Mengajak umat untuk beribadah dan menggantungkan segala urusan kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya dan kekafiran dengan segala bentuknya.